Tindak Pidana Perbankan dan Proses Peradilan di Indonesia

JAKARTA (Realita) - Kejahatan Perbankan (Fraud Banking) bisa terjadi di mana dan kapan saja. Dalam kejahatan Perbankan fraud saja bisa menjadi delik atau merupakan kejahatan yang terkait dengan industri Perbankan, baik lembaga, perangkat, serta produk Perbankan, yang bisa melibatkan pelaku sebagai pihak Perbankan atau diluar struktur Perbankan maupun nasabahnya, baik sebagai pelaku, maupun sebagai korban.

Secara umum Tindak Pidana di Bidang  Perbankan diartikan sebagai tindak pidana yang berkaitan dengan Perbankan, sedangkan Tindak Pidana Perbankan adalah tidak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang Perbankan, yang terbagi menjadi empat bagian yaitu (bidang Legalitas, bidang Operasional, Pembukuan dan laporan, bidang pemberian fasilitas kredit/pembiayaan dan bidang rahasia Bank)

Baca Juga: Puan Capres Potensial, Siapa yang Pantas Jadi Wakilnya?

Dalam hal terjadi tindak pidana pada bidang Operasional, Pembukuan dan laporan serta pemberian fasilitas kredit/pembiayaan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum hanya kepada Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pihak terafiliasi, maka bagi pelaku tindak pidana di bidang  Perbankan yang berada di luar struktur Perbankan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan ketentuan Undang-undang Perbankan, oleh karena itu perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Perbankan secara komprehensif yang dapat digunakan untuk mengadili pelaku tindak pidana di bidang Perbankan. 

"Saya mencontohkan dalam pasal 49 ayat (2) huruf “b” tentang prinsip kehati-hatian, nah ketentuan yang berlaku di dalam Perbankan ini bisa sampai kepada Standar Operasi Bank. Kalau dalam Standar Operasi Bank saja ini sudah menjadi delik, sementara di Perbankan kita, tidak semua Bank sama dalam memberikan pemahaman terhadap para pegawainya tentang potensi-potensi delik, kemudian saya berikan contoh lain dalam hal pemberian fasilitas kredit, misalnya Perusahaan A yang tidak memiliki aktifitas tetapi bisa memperoleh fasilitas kredit dari Bank, maka di sini tentu terjadi perbuatan pidana dalam hal kelengkapan administrasi Perusahaan A sebagai debitur, karena Account Officer tentunya dalam membuat analisa kredit akan terjadi manipulasi data atau persyaratan sehingga seolah-olah data tersebut adalah benar, bagi Account Officer  adalah benar pegawai Bank, lalu bagaimana dengan para pengurus Perusahaan A yang patut mengetahui bahwa perusahaannya hanya Company paper (Perusahaan kertas) tanpa aktifitas namun mendapat fasilitas kredit dari Bank dengan demikian terlihat adanya niat jahat para pengurus Perusahaan A yang bekerja sama dengan pengurus atau pegawai Bank untuk melakukan pembobolan Bank, dengan demikian telah terjadi perbuatan membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu Bank," ulas Kombes Pol (Purn) Ponadi, SH.MH dalam webinar dengan tema "Tindak Pidana Perbankan dan Proses Peradilan di Indonesia" yang dilaksanakan di Kampus Universitas Jayabaya, Jakarta, sesaat lalu seperti dikutip media ini, Selasa (26/7/2022).

Namun demikian lanjut Ponadi, para pengurus PT A tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang ini karena pada pasal tersebut diawali dengan kalimat “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai Bank yang dengan sengaja” dengan demikian jika pelaku bukan Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai Bank maka tidak dapat dipidana dengan pasal ini.

"Ini sering terjadi pula fraud di dalam Perbankan terkait dengan masalah pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan dalam Bank Syariah atau dalam hal mendapat jumlah kredit tertentu, maka nilai agunannya dinaikkan dengan jumlah tertentu, ini sebenarnya delik, tetapi bisa dipandang sebagai fraud," ungkap Ponadi, SH.MH.

Ponadi lantas mencontohkan kasus fraud yang melibatkan oknum orang dalam suatu Bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada pihak finance.

"Di Perbankan kemarin sempat ramai, salah satu finance meminta pembiayaan kepada bank x kemudian BPKP dari kendaraan-kendaraan itu sudah terbit sertifikat fidusia di Bank X, tetapi dibuat list lagi, kemudian diagunkan lagi kepada bank lain (Bank B), ternyata di sana juga dapat fasilitas kredit, kemudian diagunkan lagi kepada Bank D dan di sana dapat lagi fasilitas kredit, pada hakekatnya ini adalah fraud, artinya bahwa pegawai Bank yang memberikan fasilitas kredit setelah Bank X tadi yang mendapatkan sertifikat fidusia, kemudian Bank B dan Bank D, itu saya yakin setidak-tidaknya melanggar prinsip kehati-hatian," jelasnya.

Baca Juga: Jokowi Berani Tolak Usulan Luhut, Pengamat: Sepakat, Itu Bisa Merusak

"Di mana prinsip kehati-hatiannya, yaitu pada saat wajib kunjung nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia, nah sekarang bagaimana mau kenal dengan nasabah, BPKPnya sudah ada di Bank lain koq, lah koq bisa digunakan di Bank lain dan bisa cair juga. Secara subyektif kita bisa menilai bahwa pada saat melakukan analisa kredit berarti Account Officernya tidak benar, bisa saja BPKBnya tidak ada dibilang ada, atau mungkin ada yang cuma ada fotokopi BPKBnya saja," kata Ponadi.

"Kalau kita lihat Undang-undang Perbankan, hanya Direksi, Komisaris, pegawai Bank dan pihak yang terafiliasi tapi pada kenyataannya yang melakukan Tindak Pidana Perbankan tidak hanya orang-orang yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana Perbankan saja, contohnya orang dari luar mengajukan permohonan kredit, pinjaman, data yang diberikan tidak lengkap atau data palsu, atau data yang tidak benar, nah tidak hanya orang Bank saja yang seharusnya ditindak pidana, mereka juga (orang di luar Bank) menurut hemat saya jangan di dalam KUHP saja, ada UU Perbankan menyatakan pihak lain, misalnya barangsiapa melakukan Tindak Pidana Perbankan yang ada di pasal berapa, kalau ada kata "Barangsiapa atau setiap orang" berarti orang di luar Perbankan yang di mana dia mau mengajukan pinjaman kredit dengan data palsu atau data yang tidak benar, maka dia bisa ditindak pidana dengan Pidana Perbankan tidak hanya pada KUHP, yang menurut saya kemungkinan hukumannya itu dia lebih ringan dibanding orang-orang dalam Perbankan," kata Ketua Unit Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Publikasi (UP2P) Fakultas Hukum Univ Jayabaya, Sheha A. Habib, SH.MH.

Sheha menjelaskan, dengan UU Perbankan yang sekarang, orang-orang pada level Direksi, Komisaris, pegawai Bank atau pihak yang terafiliasi, dia akan mendapat hukuman sesuai dengan UU Perbankan tindak pidananya akan berat, tetapi orang-orang di luar itu dia akan dikenakan KUHP.

"Kemungkinannya mereka (orang di luar bank) akan mendapat hukuman lebih ringan dibanding orang yang ada di dalam," jelasnya.

Baca Juga: Webinar P3S: Rizal Ramli Berpotensi Dipilih Rakyat dan Dekat dengan Semua Partai

Di webinar yang turut dihadiri Dosen, Dekan serta mahasiswa Fakultas Hukum tersebut, Sheha berharap ke depan akan ada perubahan terhadap UU Perbankan.

"Dengan adanya perubahan UU Perbankan nantinya orang yang di luar juga bisa dikenakan UU Tindak Pidana Perbankan," pungkas Sheha A. Habib.

Ketua panpel acara, Alicia Felita mengatakan, tema webinar yang diambil kali ini menjawab keresahan dari mahasiswa maupun masyarakat soal kejahatan maupun kecurangan dari Tindak Pidana Perbankan yang kian marak.

"Melalui acara ini, kami berharap semua pihak, baik dari kampus maupun dari luar kampus makin waspada atas maraknya kejahatan dan kecurangan dalam Perbankan," kata Alicia. Beb

Editor : Redaksi

Berita Terbaru