Peringati HUT ke-2, KAMI: Negara Bakal Hancur

JAKARTA- Ulang tahun kedua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) diisi dengan diskusi publik berjudul,”Selamatkah Indonesia dengan Sistem Bernegara Hari Ini?” di kantor sekretariat KAMI, Jl. Kusumaatmadja No. 76, Menteng Jakarta Pusat, Kamis (18/8).

Hadir dalam diskusi ini antara lain Anthony Budiawan (Pengamat Ekonomi), Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara), M. Said Didu (Praktisi dan Pengamat BUMN), Dr. Ma’mun Murod Al Barbasy (Rektor UMJ), Dr. TB Massa Djafar (Dosen Pascasarjana FISIP UNAS), Dr. Mulyadi (Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia dengan moderator Hersubeno Arief wartawan senior FNN.

Baca Juga: Dugaan Kecurangan Pemilu, Jokowi: Bawa ke Bawaslu dan MK

Semua pembicara meyakini bahwa negara bakal hancur jika tidak ada perubahan secara mendasar.

TB Massa Djafar mengatakan bahwa instrumen yang selalu beriiringan untuk membangun kekuasaan dan merespons kekuatan kritis terdiri dari 3 variabel yakni struktur kekuaaan, struktur ekonomi dan struktur hukum.

“Kesadaran politik negara saat ini sudah tidak sesuai dengan apa yang kita lihat di negara lain. Di republik ini yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki modal,” ungkap Djafar.

Mengutip Bung Hatta, politik dan ekonomi saling melengkapi. Kedaulatan ekonomi dan rakyat tidak bisa dipisahkan.

Saat ini, menurut Djafar, kesadaran transformasi belum terkendali. Setuju ada perubahan, namun belum terkonsiderasi.

“Mengapa kasus KM 50 hanya berhenti pada FPI, padahal ada masalah hukum, kemanusiaan, politik, dan HAM yang seharusnya setiap orang punya kepedulian,” tandasnya.

Sementara itu, Anthony Budiawan, Pengamat Ekonomi menjelaskan bajwa sistem bernegara sampai hari ini dilihat dari kekuasaan pemerintah sudah tidak ada lagi. Kita belum merdeka, kita belum sejahtera dan kita belum kuat.

“Sistem Tirani, membuat hukum demi kepentingan kelompoknya sendiri, misalnya ada undang-undang yg dibuat untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan rakyat,” katanya.

Kepentingan di Orde Baru masih memikirkan kepentingan rakyat, namun sejak era reformasi, sumber daya manusia (SDA) dikuasai oleh segelintir pengusaha.

“Sejak 2004 2015, ekonomi semakin brutal dan transparan. kebijakan fiskal sudah tidak berpihak pada rakyat,” ucapnya.

Apabila, lanjut dia, pembengkakan biaya proyek-proyek, apabila terus berlanjut, maka jumlah rakyat miskin meningkat. APBN surplus, kenapa tidak diberikan kepada rakyat?

Saat ini rakyat miskin tidak ada kekuatan untuk melawan.

“Selama ekonomi politik kita masih seperti ini, tanpa ada perlawanan dari rakyat dan perubahan total, maka Indonesia tidak akan terselamatkan,” jelasnya.

Mulyadi, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia jug berpandangan bahwa Indonesia dengan sistem pemerintahan yang seperti sekarang bukan hasil dari reformasi. “Gerakan reformasi saat ini bukan reformasi, tapi diisi dengan deformasi”.

Kata dia, Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dilihat dari infrastruktur politik, media massa dan kelompok berkepentingan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Saat ini hukum dibuat untuk melindungi kekuasaan atau pejabat politik. Kewibawaan penguasa negara sudah tidak terlihat lagi di mata rakyat.

“Para penyuara aspirasi dipenjarakan, begitu juga rakyat dipersulit namun orang asing dipermudah,” jelasnya.

Republik ini sedang diurus oleh oligarki kembar 3 yaitu oligarki politik, oligarki ekonomi dan oligarki sosial.

Namun yang paling bahaya, menurut dia adalah oligarki sosial, karena terdapat sekelompok orang mengendalikan masa untuk mendapatkan jabatan dan kehidupan yang layak.

“Ciri negara mau hancur adalah tidak stabil, tidak adaptif dan tidak integratif. Negara sedang mereproduksi ketakutan dengan melakukan keterbelahan,” katanya.

“Manipulasi politik, agitasi dan propaganda cara rezim ini menjaga legitimasi. Mobilisasi, suap politik, perusakan reputasi, ekstra yudisial killing, membunuh atas nama hukum padahal tidak boleh membunuh,” imbuhnya.

Kemudian, Said Didu, Praktisi dan Pengamat BUMN turut menilai, bangsa ini semakin tergerus sandi-sandi kehidupannya. Semua lembaga negara saat ini di kuasai oleh partai politik.

Pada zaman Pak Soeharto, kata dia, tidak pernah meletakkan partai politik di BPK maupun lembaga hukum lainnya.

Saat ini yang terjadi adalah kekuasaan sedang memangsa negaranya, bagaimana mungkin anggota partai politik masuk menjadi pejabat di BPK.

“Selain itu, BUMN saat ini juga dijadikan tempat parkir para politis yang gagal caleg. Mereka kemudian diangkat menjadi komisaris BUMN,” ungkapnya.

 

Baca Juga: Kepergok Sambangi Hotel Tempat Gibran Menginap, Jokowi Ngaku Cuma Antar Cucu

“Maka dari dari itu, rezim sekarang adalah rezim kebohongan,” sambungnya.

Said juga menyoroti kasus Brigadir Yoshua, ia berharap dengan terungkapnya kasus Brigadir Yoshua dapat membersihkan sistem negara.

“Siapa tau tetesan darah beliau membersihkan negeri ini,” katanya.

“Kalau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negara ini terus berjalan dan kita diam diam saja, maka umur negara ini tidak akan sampai 100 tahun,” imbuhnya.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan ada persoalan serius dalam tata hukum negara kita. Menurutnya ruang lingkup hukum di Indonesia yang beberapa tahun belakangan mengalami banyak persoalan perlu segera diperbaiki.

Mengenai konstitusi, mengapa banyak yang menginginkan kembali pada UUD 1945 namun tidak ada saksi faktual dalam UU tersebut.

RH menyebutkan tahun 2024 nanti konstitusi Indonesia akan berusia 25 tahun, sejak perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999.

“Saat ini kesalahan ada di konstitusi, undang-undang, atau implementasi undang-undang,” katanya.

Konstitusi menyumbang kesalahan itu, misalnya MK tidak memilih rekruitment terbaik.

Kemudian, kesalahan undang-undang, uu tidak menyebutkan pola rekruitmen, perubahan konstitusi selalu ada kerusuhan.

“Maka dari itu secara dingin kita harus melakukan evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan kita, basic fundamental kenegaraan kita yaitu konsitusi, jangan lupa, Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi konstitusional,” katanya.

Sementara itu juga, Rektor UMJ, Dr. Ma’mun Murod Al Barbasy mengatakan, muhasabah pertama yang harus sadar bahwa negara sudah dibajak dengan harga yang sangat murah.

“Indonesia merdeka berkah dari politik identitas,” tegasnya.

Ma’mun menyoroti dua persoalan penting yaitu Sejarah politik Indonesia merupakan politik identitas. Politik identitas lebih jahat daripada politik uang.

Baca Juga: Terkait Kampanyekan PSI, Jokowi:  Enggak Tahu, Saya cuma Diundang dan Minum Teh

Kemudian, perbedaan pada rumusan Pancasila tanggal 18 dan 22 Agustus 45. Rumusan Pancasila tidak lepas dari kelompok agama, berdasarkan isi.

“Sistem yang ada saat ini dipastikan tidak akan mampu mempertahankan Indonesia. Negara sudah dibajak dengan harga yang sangat murah,” katanya.

Ma’mun juga menegaskan politik identitas sudah ada sejak dulu.

Jadi, menurutnya, masalah saat Ahok gagal jadi gubernur. ” Yong Java, Yong Ambon dan lain lain itu identitas. Saya punya pengalaman lucu saat diundang jadi pembicara di sebuah diskusi,” katanya.

Saat mendengar pengantar ada kalimat yang berbunyi, politik identitas lebih berbahaya dari politik yang. Dia pamit tidak jadi pembicara.

Diskusi ini dihadiri oleh Bachtiar Chamsah (mantan Mensos), Adi Massardi (mantan jubir Presiden Gus Dur), MS Kaban (Mantan Menhut), Prof Laode Kamaluddin, Ahmad Yani, Radar Trsibakoro, Anton Permana, Alkatiri, Syafril Sofyan, Muslim Arbi, Dony, Hatta Taliwang, Rasyid, dan puluhan deklarator dan jejaring KAMI serta media massa.

Acara diselenggarakan dengan hybrid yang bisa diakses di channel FNN TV dan hadir langsung ke lokasi. Hanya saja peserta yang hadir dibatasi.

Acara diakhiri dengan Monolog Bung Karno dengan judul “Besok atau Tidak Sama Sekali” oleh Kang Wawan dari Bandung dan diakhiri dengan pemotongan tumpeng memperingati 2 tahun KAMI bersama anak-anak yatim.

Diskusi publik yang berlangsung hampir 4 jam tersebut ditutup dengan sesi penyampaian aspirasi oleh tiga peserta diskusi.

Sebagai penutup dengan melihat hasil diskusi yang membahas sistem bernegara hari ini dilihat dari enam perspektif.

Gatot Nurmantyo menyimpulkan bahwa hari ini pemerintah telah mengkooptasi negara. Bukan saja tidak lagi bisa dibedakan antara pemerintah dan negara, melainkan juga pemerintah mengkooptasi negara demi memuluskan agenda dan kepentingan sekelompok orang yang menguasai pemerintahan.

Lebih lanjut, Gatot berharap forum-forum diskusi seperti ini terus dilaksanakan hingga daerah-daerah terpencil dengan tujuan untuk memajukan generasi muda.

Terakhir Gatot membacakan puisi karya almarhum Radhar Panca Dahana berjudul Warisan Akhirmu, Sukarno.

Editor : Redaksi

Berita Terbaru

Roda Dua vs Roda Empat, 1 Tewas

TANAH LAUT – Kecelakaan lalu lintas terjadi di Sungai Jelai, Tambang Ulang, Kabupaten Tanah Laut,Senin (25/3) sekitar pukul 03:30 WITA. Laka melibatkan …