Darurat Ganja Medis Untuk Anak Cerebral Palsy

SURABAYA (Realita)- Pada bulan September 2022 telah terjadi peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak. Kementerian Kesehatan kemudian melakukan investigasi terhadap obat-obatan yang beredar di apotek untuk mengidentifikasi penyebab kelainan ginjal akut dan infeksi pada anak. 

Hasil sementara dari investigasi tersebut Kementerian Kesehatan kemudian mengeluarkan daftar lengkap 102 obat sirup berbahaya dan menariknya dari pasaran. Obat-obat ini kini dilarang dikonsumsi, dijual apotek dan diresepkan oleh kedokteran. 

Baca Juga: YSN dan USK Kerjasama Melakukan Penelitian Ganja Medis

Ratusan daftar obat tersebut juga masih diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lebih lanjut BPOM mengatakan kemungkinan akan ada perubahan pada daftar 102 obat sirup tersebut. Kementerian Kesehatan juga menyatakan masih akan memperbarui daftar obat-obat yang dilarang untuk dikonsumsi, sehingga daftar obat yang dilarang kemungkinan akan terus bertambah.

Singgih Tomi Gumilang Direktur Advokasi Yayasan Sativa Nusantara [YSN] mengatakan, dari daftar obat berbahaya tersebut, ada beberapa obat umum yang biasa digunakan untuk mengatasi kejang pada anak penderita Cerebral Palsy, yaitu: Asam Valproat Sirup, Apialys syr, dan Depakene. Obat-obat ini pula yang selama ini rutin digunakan oleh Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Muharyanti, untuk pengobatan anak-anak mereka.

Bahkan sebelum dinyatakan bahwa obat-obat tersebut berbahaya, para ibu ini sudah punya kekhawatiran tentang efek samping pemakaian rutin obat-obat ini dalam jangka panjang.

"Karena itulah beberapa waktu yang lalu mereka mengajukan permohonan Pengujian Undang Undang Narkotika di Mahkamah Konsitusi, agar ganja bisa dikeluarkan dari Golongan I, sehingga dapat mereka manfaatkan sebagai alternatif pengobatan yang lebih aman untuk anak-anak mereka,"kata Singgih dalam rilis resminya, Rabu (26/10/2022).

Lebih lanjut Singgih menjelaskan, dalam pengujian UU Narkotika Nomor Perkara 106/PUU-XVIII/2020 saat itu, ahli dari pemerintah Aris Catur Bintoro dalam keterangannya mengatakan bahwa penggunaan ganja sebagai salah satu obat anti epilepsi di Indonesia saat ini tidak diperlukan karena tidak didukung dengan penelitian. 

Baca Juga: Dititipi Ganja Oleh Anak Kandungnya, Asfiyatun Mengaku Tidak Tau

Selain itu, pemerintah juga berdalih bahwa masih ada obat alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang pada anak pasien Cerebral Palsy.

"Obat-obat yang dimaksud tersebut kini masuk dalam daftar obat berbahaya dan sekarang dilarang untuk dikonsumsi dan ditarik dari peredaran. Hal ini mengakibatkan terjadi kondisi darurat terhadap kebutuhan obat khususnya obat aman untuk anak-anak dengan cerebral palsy, di sisi lain kondisi ini menjadi salah satu bukti bahwa kebutuhan terhadap ganja medis semakin genting dan Pemerintah harus segera mengatur untuk memenuhi kebutuhan atas pengobatan ganja medis oleh pasien cerebral palsy,"terang Singgih dalam rilisnya.

Dalam salah satu poin Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022, masih kata Singgih Mahkamah Konstitusi memberi mandat kepada Pemerintah untuk segera melakukan penelitian dan kajian ilmiah terhadap penggunaan ganja di Indonesia. Namun, sampai saat ini tidak ada perkembangan untuk menindaklanjuti mandat ini.

Baca Juga: Ibu 60 Tahun Diadili Gegara Dititipi Ganja Oleh Anak Kandungnya

"Ironisnya, baru-baru ini Kepala Bidang Humas BNN Kombes Pol Ricky Yanuarfi malah menyesatkan Putusan MK tentang Judicial Review Narkotika Golongan I dengan menyampaikan bahwa tidak ada celah bagi pihak manapun untuk melakukan langkah legalisasi ganja medis,"keluh Singgih.

Melihat situasi kedaruratan khususnya bagi pasien dengan Cerebral Palsy, Singgih berharap kepada pemerintah Indonesia seharusnya bisa tidak perlu menunggu proses riset yang panjang dan dapat menggunakan hasil riset ganja untuk medis yang sudah banyak dilakukan di beberapa negara sebagai acuan agar dapat segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menurunkan golongan ganja agar dapat diatur penggunaannya untuk kepentingan kesehatan. 

"Hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah, khususnya Presiden Republik Indonesia, karena ini merupakan soal hidup dan mati,"harapnya.ys

Editor : Redaksi

Berita Terbaru