Isu Separatisme di Papua, terlalu Banyak Pelintirannya

JAKARTA (Realita)- Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Dr. Damos Dumoli Agusman mengatakan, isu separatisme di Papua terkadang banyak pelintiranya. 

Bukan hanya Indonesia saja,  kata dia, isu separatisme di negara luar juga  sangat banyak. 

Baca Juga: Desertir TNI yang Jadi Anggota KKB Papua, Danis Murib Ditembak Mati

"Isu separatisme di Papua kadang banyak pelintiranya. Separatisme selalu bertetangga dengan konflik. Harus diciptakan agar mimpi kemerdekaan itu tetap on atau terus ada, " kata Damos Dumoli saat webinar Saat webinar dengan judul Separitism and Terroism in Papua yang digelar oleh Perhimpunan Eropa untuk Indonesia, Sabtu (19/6/2021). 

Lebih lanjut kata dia, separatisme yang menimbulkan konflik ini berdimensi Hak Asasi Manusia (HAM). Di mana tegasnya, ujung-ujungnya lari ke hak untuk merdeka. 

"Konflik ini berdimensi HAM, dan ujung ujungnya lari hak untuk merdeka. Biasanya isu HAM ini dicampur aduk. Ini yang kami cermati di publik, " kata dia. 

Sayangya kata dia, isu ini didekati lebih disiplin lain Antoprologi , politik, sejarahnya dan lain-lain. Tapi isu internasional tidak, karena dianggap sudah tuntas. 

"Padahal bicara separatisme, bicara internasional, " katanya. 

Mereka dari kelompok pro Papua Merdeka ini kata dia, selalu berdalih bahwa Papua bukan bagian republika Indonesia saat proklamasi. Benarkah Papua saat republika Indonesia memerdekakan diri itu berada di luar Indonesia?., " 

"Pada tahun 1885 kolonial sudah masuk. Di mana ada pengakuan Inggris dan Jerman dalam perjanjian perbatasan East New Guinea di Papua ada perjanjian Inggris Belanda tahun 1895. Paling penting adalah dokumen pamungkas konsitusi Belanda pada saat Indonesia merdeka. Di 1938 Papua bagian dari Netherlands East Indies," tuturnya. 

Lalu lanjut dia, Papua di pembahasan wilayah BPUPKI pada tanggal 10-14 Juli 1945 ini menghasilkan tiga opsi. 

Baca Juga: KKB Papua Tembak Kepala Tukang Ojek Bernama Zainul hingga Tewas di Tempat

Pertama Hindia Belanda dengan 19 suara. 

Cilegon dalam

Lalu Hindia Belanda plus Malaya, minus Papua enam  suara. Dan Hindia Belanda Malaya Brunei, Portugis. 

"Pada 12 Agustus 1945 Presiden Soekarno dan Hatta berangkat ke dalat Saigon Vietnam bertemu dengan Jendral Terauchi. 

Hasilnya jendral Terauchi hanya menerima wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah RI tidak lagi dibahas dalam UUD, " tuturnya. 

Sementara itu, mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka John Al. Norotouw mengatakan bahwa konflik di tanah Papua harus diatasi karena Tanah Papua bagian dari NKRI. 

Baca Juga: Rambo dan Temannya Tembak Tukang Ojek di Bagian Kepala hingga Tewas

Kata dia, Papua sudah diakui dan dinyatakan oleh PBB  masuk dalam pangkuan Indonesia. 

"Saya ingin menyatakan kepada seluruh Indonesia di lapisan mana pun sampai bapak Presiden. Indonesia disatukan dengan kebinekaan dari perbedaan. Papua sangat berbeda, tetapi diantara itu banyak dari berbagai suku mendiami Papua, " 

"Orang Papua lah yang sangat mencintai Indonesia dan setia menjadi warga Indonesia," kata John Al. Norotouw. 

Menurut dia, Papua bagian dari Indonesia sudah final karena diakui oleh PBB. Bahkan pihak -pihak yang mau memerdekakan Papua tidak mampu mencabut resolusi atau keputusan PBB ini. 

"Tidak punya dan tidak mampu mencabut resolusi itu, karena dipilih dari suara (negara berdaulat) di PBB," paparnya. Hendri

Editor : Redaksi

Berita Terbaru