JAKARTA (Realita)- Isu yang menyerang Gibran sebagai bagian dari membangun politik dinasti Jokowi itu akan segera menjadi isu yang basi.
Demikian dikatakan Denny JA, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA), dalam video yang diunggah di akun media sosial resminya, DennyJA_World, pada Sabtu, 21 Oktober 2023.
Baca Juga: Survei LSI Denny Ja: 67,7 % Warga Ponorogo Inginkan Sugiri Jadi Bupati Kembali
Video tersebut adalah bagian dari serial Ekspresi Data yang diunggah di Facebook, Instagram, Twitter, Tik Tok, serta Youtube Denny JA. Ini adalah serial video yang durasinya hanya 3 menit dan berbasis data riset LSI Denny JA untuk aneka isu yang strategis, termasuk Pilpres 2024.
Isu tersebut berkembang seiring dengan berita-berita yang marak, seperti "Gibran Terbang ke Jakarta Jelang Penantuan Cawapres Prabowo" dan "Berkas Pendaftaran Gibran Sebagai Cawapres Prabowo Sudah Siap."
“Reaksi terhadap isu ini bervariasi. Sebagian melihatnya sebagai bagian dari pertarungan politik, dimana isu dinasti politik menjadi senjata untuk menyerang Gibran, Prabowo, atau bahkan Jokowi.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dinasti politik adalah fenomena yang lazim dalam dunia demokrasi,” kata Denny JA pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokrasi maju di Eropa dan Amerika Serikat, dinasti politik telah menjadi hal yang biasa. Bahkan dalam konteks Indonesia, contoh seperti Pinka Haprani yang maju sebagai caleg saat ibunya, Puan Maharani, masih menjabat sebagai Ketua DPR RI menunjukkan bahwa fenomena ini diterima sebagai hal yang sah dan tidak melanggar hukum.
Baca Juga: Menangkan Capres Lima Kali Beruntun, Denny JA Raih "The Legend Award"
“Kita juga bisa mengamati dinasti politik dalam keluarga Bung Karno, yang telah berlangsung hingga empat generasi, mulai dari Bung Karno hingga Pinka Haprani. Contoh serupa dapat ditemukan dalam keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan bahkan di luar negeri, seperti dalam keluarga Kennedy di Amerika Serikat, Bush di Amerika Serikat, atau Nehru di India,” paparnya.
Mengapa dinasti politik dianggap wajar dalam negara demokrasi? Ini karena prinsip demokrasi menegaskan persamaan hak di antara seluruh warga negara. Semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, tanpa memandang asal usul keluarga mereka. Konstitusi sebagai hukum tertinggi juga tidak melarang anak-anak presiden, gubernur, atau walikota untuk menjadi pemimpin nasional jika orang tua mereka masih menjabat.
Hal ini berlaku di berbagai negara, termasuk Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, dan banyak negara lainnya. Jadi, jika konstitusi tidak mengatur larangan semacam itu, mengapa opini publik harus membatasinya?
Baca Juga: Militer sebagai Garda Terakhir Penegak Demokrasi dan Konstitusi Melawan Rezim Otoriter
“Yang paling penting, penentuan akhir dari dinasti politik terletak pada pemilihan umum. Rakyat adalah hakim tertinggi melalui kotak suara. Sebagai contoh, dalam keluarga Bung Karno, ketika Megawati memimpin PDIP, rakyat mendukung PDIP. Namun, ketika anak-anak Bung Karno mendirikan partai lain seperti Sukmawati dan Rahmawati, rakyat tidak memilih mereka. Begitu pula dalam kasus Tommy Soeharto yang mendirikan Partai Berkarya,” sambungnya.
Jika Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai calon wakil presiden Prabowo, rakyatlah yang akan memutuskan nasibnya. Gibran memiliki potensi besar untuk menarik dukungan dari generasi milenial yang merupakan hampir 50 persen dari pemilih potensial. Selain itu, dia mungkin dapat mempengaruhi pemilih di Jawa Tengah dan orang-orang yang masih puas dengan kinerja Presiden Jokowi.
“Sebagai prinsip dasar dalam demokrasi, keputusan akhir ada di tangan rakyat melalui pemilihan umum. Dinasti politik adalah realitas politik yang dapat ditemukan di negara-negara demokrasi, dan nasib Gibran Rakabuming Raka akan ditentukan oleh suara rakyat dalam proses demokratis ini,” tutupnya.tom
Editor : Redaksi