SURABAYA (Realita)- Fanty Liliastutie, pegawai Bank Syariah Indonesia (BSI) jadi terdakwa Perbankan mengaku menyesal telah melakukan tindakan yang telah menyalahi aturan perbankan yang ditetapkan BSI. Hal itu ia ungkapankan saat menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (30/11/2023).
Dalam persidangan itu, terdakwa Andi Saputra yang juga pegawai BSI dalam penuntutan berkas terpisah juga dihadirkan untuk didengar kesaksiannya.
Baca Juga: Sidang Dugaan Penggelapan CV MMA, Saksi: Tidak Ada Uang Untuk Kepentingan Pribadi Terdakwa Herman
Dalam persidangan, terdakwa Fanty Liliastutie selain mengakui perbuatannya dan menyesali perbuatannya itu, juga menerangkan banyak hal. Salah satunya adanya bujuk rayu yang dilakukan terdakwa Andi Saputra kepada terdakwa Fanty Liliastutie untuk menggunakan setoran-setoran para nasabah BSI yang masuk ke rekeningnya, supaya dipergunakan untuk kegiatan lain diluar sepengetahuan pimpinan serta manajemen BSI.
Kejahatan perbankan apa saja yang telah dilakukan para terdakwa yang terungkap di persidangan dan akhirnya diakui para terdakwa?
Dihadapan majelis hakim, penuntut umum, terdakwa Andi Saputra dan tim penasehat hukumnya, terdakwa Fanty Liliastutie menjelaskan bahwa ia tergoda untuk mempergunakan setoran-setoran para nasabah prioritas BSI termasuk lembaga pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Wonokromo karena adanya saran dari terdakwa Andi Saputra.
Bukan hanya itu faktor lain yang membuat terdakwa Fanty Liliastutie sampai berani melakukan tindakan perbankan yang menyalahi SOP karena terdakwa Fanty ikut bertanggung jawab atas uang ayahnya yang telah dipinjam terdakwa Andi Saputra.
Dalam pengakuannya, terdakwa Fanty Liliastutie juga mengakui, bahwa tindakannya bersama-sama dengan terdakwa Andi Saputra yang melakukan peminjaman pribadi, sudah terlampau dalam hingga akhirnya tindakannya itu menyeretnya ke ranah pidana.
Atas tindakannya itu, terdakwa Fanty Liliastutie akhirnya bersepakat dengan Andi Saputra untuk memakai uang setoran para nasabah BSI terlebih dahulu untuk menutup bunga pinjaman pribadi yang dijalankannya bersama terdakwa Andi Saputra.
"Saya terpaksa menggunakan uang setoran para nasabah prioritas BSI, termasuk uang setoran dari Muhammadiyah atas desakan dan perintah terdakwa Andi Saputra," ujar terdakwa Fanty.
Ketika Andi Saputra meminjam uang ke saya dan uang itu milik ayah saya, lanjut Fanty, yang tak kunjung dilunasi terdakwa Andi Saputra, membuat saya kebingungan dan akhirnya terpaksa menuruti ajakan Andi Saputra.
Hakim Taufan Mandala, SH., MH yang ditunjuk sebagai Ketua Majelis yang memeriksa dan memutus perkara ini kemudian mengkonfirmasi terdakwa Fanty Liliastutie tentang keikut sertaan dirinya melakukan kejahatan perbankan ini.
"Ketika melakukan perbuatan itu bersama Andi Saputra, berarti tidak ada paksaan dari terdakwa Andi Saputra? Karena terdakwa Andi Saputra juga butuh untuk segera mengembalikan uang orang tua mikik saudari sehingga anda terima ajakan terdakwa Andi Saputra untuk melakukan perbuatan tentang setoran-setoran, pengambilan-pengambilan dari SD, SMP dan SMA Muhammadiyah. Apakah anda merasa terpaksa melakukan tindakan ini?," tanya hakim Taufan Mandala kepada terdakwa Fanty Liliastutie.
Menjawab pertanyaan hakim Taufan Mandala ini, dengan tegas terdakwa Fanty Liliastutie akhirnya mengakuinya.
Jawaban terdakwa Fanty Liliastutie ini membuat hakim Taufan Mandala bertanya lebih banyak, perihal jawaban terpaksa yang diucapkan terdakwa Fanty di persidangan.
Terkait jawaban terpaksa itu, terdakwa Fanty Liliastutie kemudian berdalih bahwa uang yang dipinjamkan ke terdakwa Andi Saputra itu adalah uang orangtuanya.
"Saya juga minjam sehingga ini menjadi tanggungjawab saya. Karena hal itu (juga) menjadi beban berat saya," jawab terdakwa Fanty.
Ditengah kondisinya yang tertekan itulah, terdakwa Fanty kembali menjelaskan, akhirnya terdakwa Andi Saputra meyakinkan dirinya, supaya menggunakan uang-uang nasabah yang ada padanya terlebih dahulu.
Berkaitan dengan kerugian-kerugian yang diderita SD, SMP dan Muhammadiyah yang sudah diganti BSI, hakim Taufan Mandala kemudian bertanya ke terdakwa Fanty Liliastutie, apakah ada kesepakatan atau janji-janji antara dirinya dengan BSI untuk mengganti kerugian yang sudah dibayarkan pihak BSI ke Muhammadiyah?
Atas pertanyaan hakim Taufan Mandala itu, terdakwa Fanty Liliastutie mengatakan bahwa semua itu sudah dilakukan saat pihak BSI melakukan audit dan memanggil dirinya untuk diperiksa serta dimintai keterangan atas adanya setoran dan penarikan dari Muhammadiyah yang mencurigakan.
Baca Juga: Keterangan Ahli Pidana dan Perdata, Perbuatan Herman Tidak Melawan Hukum
Berkaitan dengan layanan BSI kepada para nasabah prioritas termasuk kepada Muhammadiyah Wonokromo yaitu cash pick up, terdakwa Fanty Liliastutie menjabarkan bahwa pick up service yang dilakukan FO, termasuk apa yang sudah ia lakukan terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah Wonokromo, adalah hal yang biasa.
Lebih lanjut terdakwa Fanty Liliastutie menerangkan, ketika ia masih sebagai pegawai BRI Syariah yang menduduki jabatan FO, terdakwa Fanty mengaku seringkali melakukan pick up service kepada para nasabah prioritas BRI Syariah.
"Itu sudah menjadi kebiasaan. Dan ketika saya melakukan penyetoran maupun penarikan, termasuk untuk Muhammadiyah, semua pihak mengetahui, baik itu teller, manajer operasional, sampai pimpinan BSI," tuturnya
Tindakan cash pick up ini, sambung terdakwa Fanty Liliastutie, ternyata tidak boleh dilakukan seorang Founding Officer (FO) di Bank Syariah Indonesia (BSI) tanpa ada surat tugas dan surat kuasa dari pimpinan BSI setelah ada audit.
Masih menurut pengakuan terdakwa Fanty Liliastutie, pekerjaan cash pick up di BRI Syariah dapat dilakukan siapapun tanpa harus ada surat tugas.
Terkait kerugian yang diderita SD, SMP dan SMA Muhammadiyah sebagaimana diterangkan para saksi pada persidangan sebelumnya, terdakwa Fanty mengatakan bahwa jumlah kerugian yang diderita Rp. 2,5 miliar bukan Rp. 3,7 miliar lebih.
Penghitungan jumlah kerugian yang diderita Dikdasmen Muhammadiyah Wonokromo tersebut secara keseluruhan berdasarkan hasil audit yang dihitung bersama-sama.
"Saat dilakukan audit terhadap kerugian Muhammadiyah, saya dilibatkan dan saya juga di interview," ungkap terdakwa Fanty.
Pertama, lanjut terdakwa Fanty, audit dan interview tersebut dilakukan BSI Surabaya kemudian pusat.
Baca Juga: Sidang Dugaan Penipuan, Keterangan Para Saksi Ungkap Hutang Pelapor ke CV MMA
Untuk petugas yang melakukan audit dan interview saat itu menurut cerita terdakwa Fanty, bernama Panji.
"Panji adalah bagian dari tim yang melakukan audit dan interview ke saya. Panji ini adalah Risk Based Capital (RBC). Panji inilah yang melakukan semacam bisnis control," jelas terdakwa Fanty.
Bisnis control itu, sambung terdakwa Fanty Liliastutie, adalah turunan dari divisi audit yang mengawasi setiap cabang dan segala transaksi di cabang.
"RBC itulah yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan tarikan, setoran di cabang setiap harinya," cerita terdakwa Fanty.
Terdakwa Fanty Liliastutie didalam persidangan juga mengatakan bahwa ia menyesali perbuatan yang sudah ia lakukan sehingga ia harus diadili di pengadilan.
Kurangnya informasi yang diberikan kepadanya dari pimpinan serta manajemen BSI tentang prosedur pick up service kepada para nasabah prioritas BSI juga diungkap terdakwa Fanty.
Fakta lain yang dijelaskan terdakwa Fanty Liliastutie dimuka persidangan adalah tentang prosedur pengembalian uang ganti kerugian para nasabah prioritas BSI, termasuk lembaga pendidikan Muhammadiyah Wonokromo.
Lebih lanjut terdakwa Fanty Liliastutie menjelaskan, setelah dilakukan audit dan interview dari pihak BSI kepada dirinya, sebagai bentuk pertanggung jawabannya atas setoran-setoran nasabah prioritas BSI termasuk setoran dan penarikan tunai Muhammadiyah Wonokromo, terdakwa Fanty Liliastutie telah menyerahkan sertifikat rumah milik dan atas nama ayahnya kepada BSI.
Berdasarkan penghitungan appraisal, rumah yang diserahkan terdakwa Fanty Liliastutie ke manajemen BSI itu nilainya Rp. 1 miliar.ys
Editor : Redaksi