Benny Tjokrosaputro Adukan Hakim yang Mengadilinya ke Komisi Yudisial

JAKARTA (Realita) - Benny Tjokrosaputro melalui kuasa hukumnya Fajar Gora, mengadukan Hakim yang telah memvonis dirinya selama seumur hidup dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), ke Komisi Yudisial pada Senin (19/4). 

"Pengaduannya atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim, karena dinilai tidak adil dan tidak profesional," ungkap Fajar di Jakarta, Selasa (20/04). 

Baca Juga: Kejagung Sita 23 Aset Bentjok di Tangerang

Majelis Hakim yang diadukannya adalah Rosmina (Ketua Majelis), Ignatius Eko Purwanto, Susanti Arsi Wibawani, H. Sigit Herman Binaji, dan Sukartono.

Majelis Hakim dinilai tidak memiliki sikap profesional, tidak didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, tidak memiliki keterampilan dan wawasan yang luas dalam menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Benny Tjokrosaputro dengan tindak pidana korupsi. 

"Hal mana sangat terlihat dari Majelis Hakim membuat “pertimbangan” putusan (ratio decidendi) yang sangat buruk dan tidak dapat dipertanggung jawabkan," lanjut Fajar. 

Padahal, untuk menilai kualitas dan profesionalitas hakim adalah dengan melihat pertimbangan hukum dari suatu putusan yang dibuatnya.

Fajar Gora berpendapat bahwa sangatlah ironis, ketika Majelis Hakim menghukum penjara seumur hidup Benny Tjokrosaputro hanya dengan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 yang sebetulnya masih ditunda berlakunya, bahkan “sengaja dipenggal” ketentuannya, hanya sekadar untuk dapat menghukum Benny Tjokrosaputro. 

Ibaratnya, Benny Tjokrosaputro alias Bentjok telah dihukum penjara “seumur hidup” hanya dengan memberlakukan "aturan kantor” yakni berupa Surat Edaran di lingkungan Mahkamah Agung. 

Seperti diketahui, SEMA merupakan petunjuk teknis sebagai petunjuk pelaksanaan tugas bagi pengadilan dan bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan.

Kuasa hukum Bentjok juga beranggapan Kekeliruan fatal yang dilakukan Majelis Hakim adalah ketika memberikan pertimbangan hukum terkait unsur “merugikan keuangan negara” karena masih menggunakan “delik formil”, padahal setelah adanya putusan MK Nomor 25/ PUU-XIV/2016, dalam menghitung kerugian negara tidak lagi menggunakan delik formil tetapi menggunakan delik materiil, itu artinya kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara nyata (factual loss), dan tidak lagi bersifat potensi (potential loss). 

Dalam kasus Bentjok, pertimbangan putusan Majelis Hakim secara jelas menyatakan tidak terbukti adanya kerugian negara secara nyata (factual loss), tetapi menghukumnya “seumur hidup” hanya dengan kerugian negara yang masih bersifat potensi.

Baca Juga: Lahan Benny Tjokro Seluas 52 Hektar Disita

Selain itu, Majelis Hakim dinilai sangat tidak profesional, karena dalam putusannya tidak mampu memisahkan harta benda yang dirampas negara merupakan harta benda milik pribadi Benny Tjokrosaputro atau milik perusahaan dari Benny Tjokrosaputro.

Cilegon dalam

"Padahal, yang diputus bersalah adalah Benny Tjokrosaputro sebagai pribadi, akan tetapi dalam putusan, harta benda yang tercatat dan terdaftar atas nama perusahaan Benny Tjokrosuanto maupun perusahaan milik pihak ketiga juga dirampas untuk Negara," kata Fajar. 

Di samping itu, untuk mengadili dan menghukum Benny Tjokrosaputro, maka Majelis Hakim tentunya harus dibekali, mengerti dan memahami pengetahuannya tentang Pasar Modal, dan apabila syarat pengetahuan Pasar Modal tidak dimilikinya, maka Majelis Hakim sangat besar melakukan kekeliruan dalam menjatuhkan putusan. 

Yang disayangkan menurut Fajar jika, Majelis Hakim bersikap tidak profesional, karena kurang pengetahuannya dan kurang memahami ruang lingkup Pasar Modal, sehingga menyatakan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat mampu  menggoreng (mengendalikan) harga saham dengan menggunakan nama-nama orang sebagai nominee agar harga saham mengalami kenaikan.

Padahal, apabila Majelis Hakim memahami dunia pasar modal, maka tidak mungkin seorang Benny Tjokrosaputro mampu mengendalikan harga saham di pasar bebas yang namanya Pasar Modal, terlebih lagi jika saham yang katanya digoreng itu (saham MYRX) memiliki saham Indeks LQ45.

"Pelanggaran lain yang dilakukan Majelis Hakim adalah keliru atau salah dalam menilai alat bukti terkait unsur niat jahat (mens rea)," tuturnya. 

Baca Juga: Tanah 130 Hektare Aset Bentjok Disita

Fakta persidangan terungkap, tidak ada hubungan kedekatan dan pertemuan yang intens atau sering terjadi antara Benny Tjokrosaputro dengan Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan dan pihak-pihak lainnya, baik itu para Direksi maupun karyawan PT. Asuransi Jiwasraya, termasuk Manajer Investasi dan/atau pihak lain yang terkait perkara ini. 

"Namun, fakta-fakta ini tidak dinilai dengan cermat dan profesional oleh Majelis Hakim," imbuhnya.

Dengan demikian, hukuman pidana penjara “seumur hidup” terhadap Benny Tjokrosaputro sangat terlihat hanya semata-mata bertujuan untuk menghukumnya dengan mengakomodir ekspektasi publik atau “tekanan publik”, dengan cara atau modus hanya mengikuti Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanpa dengan cermat memperhatikan aturan hukum yang berlaku dan sikap profesional yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Dengan cara-cara atau modus yang dilakukan Majelis Hakim dalam mengadili Benny Tjokrosaputro ini, maka diduga telah melanggar Huruf C angka 10 dari Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 47/KMA/SKB/IV/2009 — 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim junto Pasal 4 huruf a dan huruf j junto Pasal 5 ayat (2) huruf e junto Pasal 14 ayat (1) Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 ~ 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Untuk itu, pihaknya berharap KY maupun MA dapat menghukum Majelis Hakim yang mengadili Benny Tjokrosaputro dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan semoga saja masih ada keadilan di negeri ini. hrd

Editor : Redaksi

Berita Terbaru