DR. Aartje: 50 Sertifikat di Jayapura yang Muncul Bisa Dikatakan Cacat Administrasi

JAKARTA (Realita)- Permasalahan yang terjadi di Papua terkait dugaan peyerobotan tanah adat, mendapatkan tanggapan serius dari Pakar Hukum Agraria dan Hukum Adat, DR. Aartje Tehupeiory, dia menyatakan persoalan bahwa agraria dan hak adat adalah hal yang sangat serius. Bahkan dia mengulas perampasan tanah hak adat oleh para mafia tanah sudah terjadi sekian lama.  Representasinya kata Aartje dimana Negara harus hadir guna melindungi hak-adat. 

"Regulasi hukum adat berdasarkan pandangan saya ada yang hilang dan tak sejalan dengan konstitusi UUD'45. Permasalahan tersebut kerap muncul di berbagai wilayah bangsa ini karena kurangnya pemahamanan kepemilikan tanah adat, bahwa setiap Pemerintahan Daerah mulai dari tingkat Kecamatan, sampai Gubernur harus mampu melindungi hak-hak adat," Kata Aartje kepada awak media di gedung LPPM Universitas Kristen Indonesia, Kamis (18/11/2021).

Baca Juga: Masyarakat Adat Paser Desa Pondok Labu Desak Pengembalian Tanah Ulayat

Ia juga menyebut perlunya Rancangan Undang Undang (RUU) Hak Adat atau Ulayat yang di Sahkan DPR RI guna melindungi segenap tanah dan hutan desa milik adat di setiap daerah. 

"Hukum adat adalah hukum positif yang memiliki ketetapan pasti yang sudah di atur Konstitusi. Untuk itu, kami bersama rekan-rekan yang memiliki kepekaan dan kepedulian dalam membangun nilai-nilai luhur bangsa sedang melakukan uji materi soal itu, dan segera akan mengajukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke DPR guna tersusunnya dan di Sahkannya RUU Hak Adat," terangnya.

Persoalan tanah yang melibatkan Kepala Suku adat , tepatnya di Kampung Nafri Kota Jayapura yang kini sedang berperkara dan telah viral di beberapa media nasional atas hilangnya Hak adat perlu dilakukan ketelitian dan pendataan yang sebenar-benarnya.

Lebih rinci diulas Aartje dengan munculnya 50 sertifikat hak milik atas nama peroangan yang dikeluarkan BPN Kota Jayapura pada tahun 2009, Aartje mengatakan perlu adanya peninjauan kembali dan pendataan atas data dan berkas-berkas kepemilikan tanah adat berdasarkan ketentuan dan aturan yang ditetapkan sesuai pengakuan dari masyarakat adat.

Baca Juga: Sengketa Berujung Duel Dua Lawan Tiga

"Menyoal munculnya sertifkat hak milik yang diterbitkan BPN Kota Jayapura harus dilakukan pendataan ulang untuk memperoleh keabsahan atas kepemilikan tanah adat itu, terutama adanya surat pelepasan atau pelimpahan atas tanah adat dari kepala suku-suku disana, itupun harus melalui proses yang tidak mudah," Beber Aartje.

Jika terbitnya sertifikat hak milik tanpa didasari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pengakuan Sah masyarakat Adat dan para kepala suku adat, Aartje menegaskan 50 sertifikat yang muncul itu bisa dikatakan cacat administrasi.

"Sertifikat yang sudah diterbitkan BPN atas peralihan dari tanah adat kepada kepemilikan perorangan bisa dibatalkan, asalkan melalui proses uji validasi pendataan yang sesuai dengan prosedural, dan terbitnya sertifikat-sertifikat hak milik itu cacat administrasi," ungkapnya.

Baca Juga: Kasus Dugaan Penguasaan Tanah Negara di Desa Lebakadi Lamongan Berlanjut

Di tempat terpisah, ketika dikonfirmasi terkait adanya dugaan penyerobatan tanah adat yang diakui Monika Samallo, Yusuf Timesela, S.H kuasa hukum kepala suku adat Cristomus Awi Wamuar kampung Nafri Kota Jayapura mengatakan pihaknya telah tiba di Jakarta untuk menyampaikan surat terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kapolri.

"Saya baru tiba di Jakarta, dan membawa surat dari Kepala Suku Awi Wamuar untuk disampaikan ke Presiden dan Kapolri. Ini bentuk pernyataan sikap beliau atas tanah adatnya yang telah menjadi 50 sertifikat atas nama Monika Samallo," kata Jusuf Timesela S.H.

Jusuf berharap Presiden dan Kapolri segera menangani persoalan ini sebelum semuanya agar terang benderang.tom

Editor : Redaksi

Berita Terbaru