JAKARTA (Realita) - Setelah melalui proses pemeriksaan yang intensif, tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menahan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan dalam proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) batubara di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
Keempat tersangka yang ditahan itu adalah AL, Direktur PT Antam periode 2008 - 2013, HW, Direktur Operasional PT Antam, BM, mantan Direktur Utama (Dirut) PT ICR tahun 2008 – 2014 dan MH. Komisaris PT Tamarona Mas Internasional (TMI) periode 2009 sampai sekarang.
Baca Juga: LSM Nusantara Ekspress Minta Kejari Usut Korupsi Pengadaan Alat Olahraga SDN se-Kecamatan Betung
“Tersangka BM dilakukan penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan 3 lainnya yaitu tersangka AL, HW dan MH ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Penahanan ini untuk waktu 20 hari terhitung 2 – 21 Juni 2021,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (02/06).
Kapuspenkum Kejagung yang kerap disapa Leo ini menjelaskan, kasus posisi tindak pidana yang disangkakan adalah bahwa tersangka BM selaku Direktur Utama PT. ICR periode tahun 2008 – 2014 melakukan akuisisi PT TMI yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, dalam rangka mengejar ekspansi akhir tahun PT ICR.
Setelah mendapat hasil laporan site visite dari saksi A, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual (kontraktor batubara) pada tanggal 10 November 2010 dan telah ditentukan harga pembelian yaitu Rp 92,5 miliar, padahal belum dilakukandue dilligence.
Pada 19 November 2010 di Jakarta dilaksanakan MOU antara PT ICR – PT CTSP – PT TMI –PT RGSR dalam rangka akuisisi saham PT CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare.
Karena PT. ICR tidak memiliki dana untuk akuisisi PT. CTSP, saksi AA yang menjabat selaku Komisaris Utama PT ICR meminta penambahan modal kepada PT Antam (Tbk) sebesar Rp 150 miliar.
Setelah dilakukan kajian internal oleh PT Antam (Tbk) yang dikoordinir oleh tersangka HW, tersangka AL melalui keputusan Direksi PT Antam (Tbk) tentang persetujuan atas permohonan penambahan modal kepada PT ICR tanggal 04 Januari 2011 dengan dasar nota dinas SM Corporate Strategic Development Nomor 515.a/CS/831/2010 tanggal 31 Desember 2010, Direksi PT Antam menyetujui untuk dilakukannya penambahan modal disetor kepada PT ICR sebesar Rp 121,9 miliar lebih untuk mengakuisisi 100% saham PT CTSP yang mempunyai aset batubara di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
Baca Juga: Sidang Korupsi Mantan Kepala BPBD, Kasi Intel Kejari Sidoarjo Disebut Meminta Aliran Dana
Dengan tidak dilakukannya kajian internal oleh PT. Antam secara komprehensif, ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No.32 Tahun 2010 tentang persetujuan peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT TMI (KW.97 KP.211210) tanggal 22 Desember 2010 diduga fiktif, karena pada kenyataannya pada lahan 201 Ha IUP masih eksplorasi. Due dilligence pada lahan 199 hektare yang memiliki IUP OP hanya dilakukan terhadap lahan 30 hektare (tidak komprehensif).
Ternyata diketahui tersangka BM dan tersangka ATY tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batubara yang menjadi objek akuisisi.
Setelah dilakukan perjanjian jual beli saham pada tanggal 12 Januari 2011, tersangka MH mendapat pembayaran sebesar Rp 35 miliar dan tersangka MT mendapatkan pembayaran Rp 56,5 miliar.
“Perbuatan tersangka BM bersama-sama dengan tersangka ATY, saksi AA, tersangka HW, tersangka MH dan tersangka MT, sebagaimana hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Pupung Heru, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 92,5 miliar,” jelas Leo.
Baca Juga: Dieksekusi Tentara Rusia dan Diviralkan, Prajurit Ukraina Di-Patung-kan
Pasal yang diterapkan kepada para tersangka adalah (orimair) melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan subsidairnya melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Penanganan perkara ini merupakan program prioritas Jaksa Agung RI tentang penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung,” tutur Leo.hrd
Editor : Redaksi