FORMAPPI Sebut Kerja DPR Hanya Formalitas

 

JAKARTA (Realita)- Masa Sidang (MS) V dimulai pada 17 Mei dan berakhir pada 7 Juli 2022. Total hari kerja MS V adalah 48 hari. MS V merupakan masa sidang terakhir untuk tahun persidangan 2021-2022. Walaupun menjadi masa sidang terakhir untuk tahun sidang 2021-2022 evaluasi kinerja berikut ini hanya terkait pelaksanaan tugas dan fungsi DPR selama MS V saja. Karena evaluasi tahunan yang dilakukan Formappimengikuti tahun kalender yaitu pada setiap bulan terakhir dalam setahun. Hal ini dikarenakan rencana kerja DPR seperti dalam pelaksanaan fungsi legislasi ditetapkan untuk masa waktu setahun berdasarkan tahun kalender. 

Baca Juga: Puti Guntur Soekarno Konsisten Bangun Generasi Milenial Berlandaskan Ideologi Bangsa

Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) mengevaluasi fungsi legislasi yang DPR RI yang belum cukup memuaskan. Sebab, dari 11 Rancangan Undang-undang (RUU) yang disahkan pada Masa Sidang (MS) V tahun 2022, hanya ada 3 RUU yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022.

"Dinamika pembahasan RUU pada MS V bisa dikatakan cukup produktif jika melihat total RUU yang akhirnya bisa disahkan oleh DPR. Tercatat ada 11 RUU yang berhasil disahkan pada MS V lalu, tapi sayangnya dari 11 RUU yang disahkan tersebut, hanya 3 RUU yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022," kata Lucius Karus peneliti Formappi dalam keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu (13/8/2022).

Masih jelas Lucius Karus, lainnya delapan RUU, merupakan RUU kumulatif terbuka yang semuanya terkait UU Provinsi (5 RUU) dan DOB (3 RUU DOB Papua). Dengan demikian produktivitas legislasi sesungguhnya biasa saja karena 3 RUU 7 yang disahkan dari Daftar RUU Prioritas 2022 tentu bukan sesuatu hal yang mengagumkan.

Dirinya merinci, tambahan RUU dari cluster kumulatif terbuka memang selalu mampu menutup potret kinerja rendah DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Selain produktivitas yang tidak luar biasa, dinamika pembahasan RUU pada MS V sesungguhnya mengecewakan.

Hal tersebut seyogyanya terlihat dari kebiasaan DPR yang masih suka memperpanjang proses pembahasan RUU. Tercatat ada 3 RUU yang pembahasannya diputus untuk diperpanjang.

"Lebih mengecewakan lagi adalah keputusan DPR untuk menghentikan proses pembahasan RUU Penanggulangan Bencana," ujar Lucius. 

Menurut Formappi, tuntutan penguatan regulasi kebencanaan sesungguhnya merupakan kebutuhan mendesak jika mengingat kerawanan bencana alam di Indonesia. Jika ditambah dengan ancaman bencana non-alam seperti pandemi Covid 19 yang masih berlangsung maka ancaman bencana tentu sesuatu yang nyata.

Baca Juga: Jangan Lengah, DPR Bisa Saja Sahkan UU Pilkada Tengah Malam Nanti

Dirinya merasa aneh, bagaimana bisa DPR justru menghentikan pembahasan RUU yang tuntutan kebutuhannya sangat jelas. Apalagi, alasan penghentian itu nampak sangat elitis yakni karena perbedaan sikap antara Pemerintah dan DPR terkait posisi BNPB dalam proses pembahasan.

Cilegon dalam

"Mang sejak kapan pembahasan RUU berlangsung tanpa adanya perbedaan pendapat, Bukankah untuk membahas RUU justru karena adanya perbedaan sikap baik antara DPR dan Pemerintah maupun antar fraksi di DPR?," ungkapnya. 

Masih sambungnya, mengapa pada pembahasan RUU Penanggulangan Bencana perbedaan sikap itu justru menjadi petaka yang menghentikan pembicaraan penting terkait regulasi kebencanaan? Ini benar-benar konyol sih.

Masih terang Lucius Karus, pengesahan revisi UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) juga sulit diapresiasi karena dilakukan melalui proses yang tidak cukup partisipatif. Pro-kontra mengenai mekanisme omnibus dan bagaimana hubungannya dengan revisi UU Cipta Kerja yang masih menggantung.

Tiba-tiba saja DPR dan Pemerintah meninggalkan semua kontroversi itu dengan mengesahkan Revisi UU PPP di pekan pertama Masa Sidang V," katanya. 

Baca Juga: DPR Milik Rakyat, Bukan Milik Jokowi

Dari gerak-gerik pembahasan kilat dan minim partisipatif itu, terlihat jelas bahwa revisi UU PPP memang sekadar untuk mengantisipasi revisi UU Cipta Kerja yang karena keputusan MK terancam dibatalkan seluruhnya jika tak direvisi selama dua tahun sejak keputusan MK dibacakan," terangnya lagi.

Ia mengatakan, pengesahan 3 RUU Prioritas pada MS V akhirnya memang menambah pundi-pundi RUU Prioritas yang berhasil disahkan menjadi 12 RUU dari 40 Daftar RUU Prioritas. Dari 12 RUU tersebut sesungguhnya hanya 6 RUU yang benar-benar disahkan pada 2022.

Sedangkan, 6 RUU lain sudah disahkan pada akhir tahun 2021 lalu. Dia menyebut, sikap DPR yang tidak mau merevisi Daftar RUU Prioritas 2022 sesungguhnya memunculkan kecurigaan.

"Jangan-jangan mereka sengaja membiarkan 6 RUU yang sudah disahkan pada 2021 tetap ada pada daftar RUU Prioritas 2022 agar mereka bisa mengklaim capaian RUU yang lebih banyak di dua tahun berturut-turut," tutupnya.tom

Editor : Redaksi

Berita Terbaru