Formappi: Semangat Mengusulkan RUU, Tak Berani Mendorong RUU Perampasan Aset

JAKARTA (Realita) - Masa Sidang I TS 2024-2025 menjadi masa sidang pembuka bagi DPR 2024-2029. Dimulai pada 01 Oktober dan berakhir pada 5 Desember lalu. Aktifitas DPR pada MS I lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat koordinasi dan konsolidasi kelembagaan.

"Koordinasi dan konsolidasi itu dilakukan melalui pemilihan Pimpinan DPR, pembentukan dan penetapan AKD-AKD, pemilihan pimpinan AKD, pendistribusian anggota
pada AKD-AKD hingga perkenalan dan overview program dengan kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja," ujar I Made Leo Wiratama salah satu tim Peneliti Formappi saat gelar konfrensi persnya di Jakarta, Minggu (8/12/2024).

Baca Juga: PPATK Catat Ribuan Anggota Legislatif Terlibat Judi Online, Formappi: Bikin Syok

Oleh karena itu evaluasi kinerja berikut ini lebih menyoroti koordinasi dan konsolidasi hingga perencanaan awal periode DPR," sambungnya.


*Semangat Mengusulkan RUU, Sayangnya Tak Berani Mendorong RUU Perampasan Aset*

Senada juga dikatakan Peneliti Formappi, Lucius Karus, ini sudah menjadi kebiasaan, DPR selalu bersemangat membuat rencana legislasi.Prolegnas yang merupakan instrumen perencanaan legislasi untuk satu periode selalu ramai dipenuhi RUU-RUU yang diusulkan oleh DPR,
Pemerintah, dan DPD.

Begitu juga dengan perencanaan legislasi tahunan (Prolegnas Prioritas).

"Padahal berulangkali DPR membuktikan ketaksanggupan mereka menghasilkan UU hingga setengah dari yang
ditargetkan," ungkapnya.

Hal itu tak membuat mereka jera untuk menyusun rencana legislasi yang bombastis. DPR 2024-2029 nampak ingin mempertahankan kebiasaan DPR periode terdahulu itu," tambah Lucius Karus.

Pada 19 November lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan Prolegnas 2025-2029 dan Prolegnas Prioritas 2025. Sebanyak 178 RUU terdaftar dalam Prolegnas 2025- 2029 dan 41 diantaranya menjadi RUU Prioritas 2025. Dari 178 RUU Prolegnas, DPR menjadi pengusul terbanyak. Terdapat 67 RUU yang hanya diusulkan oleh DPR saja, 60 RUU diusulkan bersama oleh DPR dan DPD, 5 RUU diusulkan bersama oleh DPR, Pemerintah, dan
DPD. Jika digabungkan, maka total RUU yang diusulkan DPR mencapai 132 RUU (74%).

Demikian juga dengan RUU Prolegnas Prioritas 2025.
Dominasi RUU usulan DPR juga sangat mencolok yakni sebanyak 29 RUU. Sisanya 8 RUU diusulkan Pemerintah, 1 RUU dari DPD, dan 3 RUU merupakan usulan bersama DPR/DPD.

Kritikan terkait jumlah RUU dalam perencanaan ini nampaknya juga disadari oleh DPR. Hal itu nampak pada upaya mereka untuk membatasi jatah RUU per Komisi yang tak melampaui 2 RUU. Bahkan mayoritas Komisi hanya ditugasi membahas 1 RUU selama setahun.

"Terobosan pembatasan jatah pembahasan RUU per komisi ini diharapkan mampu menggenjot produktifitas legislasi DPR baik dari sisi kuantitas maupun kualitas," tandasnya.

Tahun 2025 akan membuktikan apakah strategi pembatasan tersebut berdampak pada kinerja legislasi DPR. Jika masih ada Komisi yang tak mampu menghasilkan 1 UU dalam setahun, maka besar kemungkinan Komisi tersebut memang malas atau tidak mampu.

"Anggota komisi tersebut seharusnya dievaluasi," terangnya.

Dominasi DPR dalam pengusulan RUU Prolegnas dan Prolegnas Prioritas di satu sisi memperlihatkan posisi DPR sebagai pemegang kuasa pembentuk UU. Di sisi yang lain dominasi itu seharusnya menunjukkan posisi DPR sebagai penanggungjawab utama atas capaian legislasi. Oleh karena itu tanggung jawab baik atau buruk, banyak atau sedikitnya jumlah UU yang dihasilkan setiap tahun hingga satu periode berjalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab DPR.


Kinerja legislasi tidak hanya terkait soal kuantitas. Urusan kualitas legislasi juga seharusnya sejak awal menjadi perhatian serius DPR. Kualitas legislasi dalam tahap perencanaan ditunjukkan melalui keputusan DPR
untuk merencanakan RUU-RUU yang didorong dan dibutuhkan negara dan masyarakat seperti RUU Perampasan Aset.

Baca Juga: FORMAPPI Soroti Kinerja DPR RI Dalam Fungsi Pengawasan

Ironisnya, RUU tersebut justru alpa dari daftar Prioritas 2025. Sekali lagi DPR membuktikan bahwa Daftar RUU Prioritas hanya sekedar istilah saja.Karena itu mereka lebih peduli dengan jumlah RUU
yang banyak ketimbang urusan urgensi RUU. Walaupun tanpa RUU Perampasan Aset, terdapat sejumlah RUU dalam Daftar Prioritas 2025 yang penting untuk dikerjakan secara serius oleh DPR seperti RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, RUU tentang Pengampunan Pajak (TaxAmnesty), RUU tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan beberapa RUU lain.

Dalam Daftar Prioritas, revisi UU Pilkada ditetapkan sebagai RUU Carry Over. Artinya DPR hanya
melanjutkan proses dari
periode sebelumnya. Tahapan pembahasan RUU Pilkada di periode lalu mentok pada proses pembicaraan di Tingkat II.
Jika mengikuti aturan carry over maka revisi UU Pilkada tinggal diagendakan ke rapat paripurna untuk pengesahannya. Hal ini tentu saja tidak kita harapkan karena ada banyak catatan evaluasi dari penyelenggaraan Pilkada 2024 yang bisa dijadikan pertimbangan perubahan dalam UU Pilkada.

"Oleh karena itu DPR seharusnya mencabut status carry over RUU Pilkada dan memulai pembahasannya dari awal secara menyeluruh," bebernya.

Dorongan pembahasan yang serius dan mendalam juga ditujukan pada revisi UU Pemilu. Pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 mestinya menyisakan banyak evaluasi untuk diperkuat dalam pembahasan RUU Pemilu di tahun 2025 mendatang.


Pengesahan revisi UU Daerah Khusus Jakarta pada MS I lalu perlu menjadi catatan penting pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR. UU tersebut belum sampai setahun pasca pengesahannya di Bulan Maret 2024 lalu.
Keputusan untuk melakukan revisi pada tahun yang sama sekali lagi membuktikan kualitas produk legislasi DPR sangat buruk," jelasnya.

Praktek seperti yang terjadi pada revisi UU DKJ ini juga pernah terjadi sebelumnya terkait UU IKN. Kritik publik mengenai pembahasan terburu-buru dan minim partisipasi hingga pembuatan UU demi memuaskan syahwat kekuasaan jadi terbukti.

Semoga praktek seperti ini tak terulang lagi di tahun-tahun mendatang," ungkapnya lagi.


Fungsi Anggaran dan Pengawasan hingga Sanksi Etik Bagi Suara Kritis Pelaksanaan Fungsi Anggaran memang belum dilakukan pada MS I karena APBN 2025 sudah ditetapkan sebelumnya. Akan tetapi ada banyak kebutuhan anggaran baru terkait penambahan kementerian di Kabinet Merah Putih, juga banyak rencana kementerian baru yang menuntut ketersediaan anggaran dalam jumlah yang besar.

Baca Juga: RUU Perampasan Aset Mandek di DPR

Kebutuhan anggaran yang sangat besar pada tahun 2025 jelas menuntut ketersediaan anggaran yang jauh lebih banyak. Belum lagi ancaman korupsi yang terus mengintai seiring dengan kian gemuknya birokrasi beserta lemahnya kontrol atas penggunaan keuangan negara dari DPR dan lembaga penegak hukum.

"Fungsi Anggaran DPR menjadi penting untuk memastikan politik anggaran tetap berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, tidak hanya dihabiskan untuk urusan birokrasi dan elit saja," ucapnya.

Fungsi Pengawasan DPR menghadapi tantangan serius ketika mayoritas fraksi di DPR menjadi bagian dari koalisi pendukung Pemerintah.

Kecenderungan untuk melemahkan kelompok oposisi di parlemen nampak mulai tercium. Proses penegakan etik melalui MKD terhadap 3 anggota DPR di penghujung MS I nampak terlalu dipaksakan melalui proses penyelidikan yang super kilat. Pelanggaran etik yang bersumber dari penggunaan kebebasan bersuara sebagai anggota DPR berujung pada sanksi etik terhadap mereka.

"Fenomena tersebut tentu menjadi hambatan serius bagi pelaksanaan fungsi kontrol DPR kedepannya. Bagaimana anggota DPR bisa menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintah, jika pikiran kritis justru dianggap tidak beretika oleh MKD? Kesigapan MKD untuk menjadi penjaga kehormatan DPR tentu sangat dibutuhkan," kata Lucius.

Akan tetapi kebutuhan itu tak lantas membuat MKD bisa sesuka hati menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan angota DPR lain yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Praktek beracara MKD yang melawan kebebasan berbicara anggota justru menjadi perusak wibawa DPR itu sendiri.

Terakhir, sekedar mengingatkan lagi soal Tunjangan Perumahan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas bagi anggota DPR. Kontroversi terkait tunjangan perumahan ini sempat ramai dibicarakan setelah pelantikan anggota DPR, namun redus dan bahkan hilang jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Walau tak ramai dibicarakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan ini tetap perlu dikritik karena tidak direncanakan dengan matang. Belum lagi soal anggaran serta pertanggungjawabannya yang nampak tak menjadi isu serius bagi DPR.

"Dalam situasi negara yang tengah membutuhkan banyak uang untuk membiayai aneka program prioritas pemerintah, DPR seharusnya bisa
memberikan contoh soal bagaimana mendahulukan kepentingan rakyat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah ketimbang mengurusi fasilitas pribadi," pungkasnya.(tom)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru